Petrophysics : Lebih Mengenal Parameter Petrofisika

July 29, 2017 Add Comment
Halo amazineerss,
apa kabar? semoga baik - baik yah. hmm kali ini saya tertarik untuk membahas salah satu metode yang saya gunakan dalam skripsi saya. yes, it's Petrophysics.

Bagi yang berkecimpung dalam dunia Geoscience, pasti tau deh Petrofisika itu apa. nah analisis petrofisika itu sendiri dilakukan untuk mengetahui karakteristik suatu reservoir. Melalui analisis petrofisika dapat diketahui zona reservoir, jenis litologi, identifikasi prospek hidrokarbon, serta parameter petrofisika (Volume shale, Porositas, dan Saturasi air). untuk postingan ini saya akan membahas mengenai karakteristik petrofisika.

Sifat – sifat batuan yang sangat penting untuk analisis log adalah porositas, saturasi air, dan permeabilitas. Dengan parameter porositas dan saturasi air banyaknya hidrokarbon di lapisan formasi dapat dihitung, sedangkan dengan parameter permeabilitas, dapat ditunjukkan pada tingkat mana hidrokarbon dapat diproduksi (Harsono, 1997).


Porositas


Prositas menyatakan prosentase volume batuan yang dapat diisi oleh fluida. Dalam bahasa matematis porositas adalah perbandingan antara volume ruang kosong (pori – pori) terhadap volume total dari suatu batuan.

Pada formasi renggang besarnya porositas tergantung pada distribusi ukuran butir, tidak tergantung pada ukuran butir. apabila ukuran butir hampir sama maka porositas akan lebih tinggi dan akan menjadi rendah apabila ukuran butirnya bervariasi sehingga butiran yang kecil akan mengisi ruang pori diantara butiran yang besa
r.



Permeabilitas


Permeabilitas adalah suatu sifat batuan reservoir untuk meloloskan cairan melalui pori-pori yang saling berhubungan. Ini merupakan pengukuran tingkatan dimana fluida akan mengalir melalui suatu daerah batuan berpori di bawah gradian tekanan tertentu, dinyatakan dalam milidarcy (mD).

Dalam ukuran produksi nilai permeabilitas 1000 mD dinyatakan sebagai permeabilitas tinggi dan 1.0 mD dinyatakan sebagai permeabilitas rendah (Harsono, 1997).


Permeabilitas sangat tergantung pada ukuran butir batuan. Sedimen butiran besar dan pori – pori besar mempunyai permeabilitas tinggi sedangkan batuan yang butirannya halus dan berpori kecil serta alur yang berliku – liku mempunyai permeabilitas rendah. Dalam batuan reservoir, permeabilitas dibedakan menjadi tiga, yaitu:
  1. Permeabilitas absolut, yaitu permeabilitas dimana fluida yang mengalir melalui media berpori hanya satu fasa, misalnya hanya minyak atau gas saja. 
  2. Permeabilitas efektif, yaitu permeabilitas batuan dimana fluida yang mengalir lebih dari satu fasa, misalnya minyak dan air, air dan gas, gas dan minyak, atau ketiganya. 
  3. Permeabilitas relatif, yaitu perbandingan antara permeabilitas efektif dengan permeabilitas absolut. 

Saturasi

Bagian dari ruang pori yang diisi air disebut saturasi air, ditandai dengan Sw. Sisa bagian yang terisi minyak atau gas disebut saturasi hidrokarbon (Sh­­). Asumsi umum adalah bahwa reservoir mula-mula terisi air dengan selang masa perubahan waktu geologi, minyak dan gas terbentuk ditempat lain pindah ke formasi berpori menggantikan air pada ruang pori yang lebih besar.

Akan tetapi hidrokarbon pindahan ini tidak bisa menggantikan semua air. Adanya saturasi air (Sw), yang menunjukkan bahwa air yang tertinggal karena tegangan pada permukaan butiran, kontak butiran dan celah-celah yang sangat kecil. Air sisa tidak akan mengalir ketika formasi diproduksi. Besarnya saturasi air sisa ini sangat dipengaruhi oleh porositas, ukuran pori, dan sifat dasar butiran matriks.




Sumber: Harsono Adi, 1997, Evaluasi Formasi Dan Aplikasi Log, Edisi Revisi -8 Mei 1997, Schlumberger Oil Services.

Kompleks Tektonik Bantimala

July 17, 2017 Add Comment
Bantimala (Bantimurung dan Malaka) Kecamatan Tondong Tallasa, berada di sebelah timur Kota Pangkajene yang berjarak 25 km dari Ibukota Pangkajene (Pangkep) dapat ditempuh dengan jalan darat menggunakan roda empat. Sepanjang perjalanan menuju Bantimala akan dijumpai pegunungan kars.  Berdasarkan pengamatan di lapangan, daerah Bantimala dan sekitarnya adalah tempat berhimpunnya beraneka ragam batuan yang muncul dari dalam perut bumi. Komplek Bantimala dibentuk terutama oleh Melange, Rijang, Basalt, dan batuan ultrabasa. Daerah Bantimala menunjukkan kenampakan lipatan, dimana perlapisan batuannya terlihat jelas (Gambar 1). Rijang terbentuk berlapis – lapis karena pengendapan yang waktunya hampir bersamaan yaitu pada zaman Tersier. Hal ini terlihat dari perlapisan batuannya yang tidak jauh berbeda dari lapisan yang satu dengan lapisan yang lainnya. Daerah Bantimala yang didominasi oleh Rijang mengindikasikan bahwa di daerah ini dulunya merupakan laut dalam yang mengalami pengangkatan pada saat terjadi pemekaran selat Makassar.

Gambar 1.
Batuan penyusun daerah Bantimala mengalami pengangkatan kemudian tersingkap yang tertutupi oleh sungai (outcrop) merupakan batuan fasis, dimana dalam satu kompleks batuannya sama terbentuknya juga sama. Kondisi batuan ini memiliki kesamaan di daerah Bantimala sampai terjadi ketidakselarasan dimana kemungkinan ada sesar yang membatasi sehingga batuan yang terbentuk tidak sama (berbeda). Kenampakan batuan pada sungai daerah Bantimala dapat terlihat dengan jelas  tapi pada bagian samping sungai tidak terlihat karena terjadi pengendapan sehingga formasi batuannya tertutupi. Pada daerah ini kemungkinan terjadi antiklin namun tidak terlalu kelihatan karena tertutupi akibat pengendapan. Daerah Bantimala diketahui berhubungan dari arah Meratus. Hal ini dikarenakan Rijang yang ditemukan di Bantimala diketahui mempunyai hubungan dengan yang ada di Meratus baik umur pembentukannya maupun arahnya. Meskipun hal ini masih menjadi perdebatan oleh ahli geologi.

Pada zaman Trias terjadi subduksi atau tunjaman lempeng pasifik dengan lempeng Eurasia yang menyebabkan terbentuknya kompleks akresi pada daerah pertemuan dua lempeng tersebut (Sukamto, 1985). Selain akresi, terjadi pula deformasi batuan akibat perubahan tekanan dan temperatur yang dihasilkan oleh kedua lempeng tersebut. Selanjutnya pergerakan lempeng Pasifik menunjam ke bawah lempeng Eurasia. Tekanan yang semakin besar akibat penunjaman ini mengakibatkan terjadinya perlipatan dan metamorfisme terhadap kompleks akresi yang telah terbentuk sebelumnya.
Di sisi terluar akresi berupa hancuran disertai endapan awal ikut menunjam masuk ke bawah mengikuti tunjaman lempeng Pasifik yang merupakan awal pembentukan Melange. Tekanan subduksi lempeng Pasifik terhadap lempeng Eurasia yang lebih pasif semakin besar sehingga menyebabkan deformasi kuat dan metamorfisme terhadap kompleks akresi. Penambahan tekanan yang semakin besar menyebabkan terjadinya peremukan yang merupakan sumber material penyusun Melange. Peremukan ini berlangsung pada kedua lempeng kontinen dan oseanik. Selanjutnya material – material tersebut ikut masuk ke bawah bersamaan penunjaman membentuk Melange dan kembali tersingkap oleh lanjutan dari tekanan subduksi Pasifik barat.

Gambar 2.
Melange yang terbentuk akibat tekanan dan panas mengindikasikan bahwa pada daerah Bantimala terjadi tektonik mikro. Berbagai macam batuan yang terjadi oleh rezim tektonik yang berbeda selama Trias – Kapur awal, telah memperaduk dan terimbrikasi secara tektonik membentuk komplek Melange Bantimala (Gambar 2), sebagai bagian yang alokhtone. Peristiwa percampuran berbagai macam himpunan batuan tersebut terjadi ketika berlangsung penunjaman dari suatu sistem busur-palung pada Kapur tengah dan membentuk taji Melange di lereng palung. Batuan sedimen lereng yang autokhton yang terjadi selama Kapur tengah telah terlibat di dalam sistem imbrikasi ketika komplek Melange Bantimala terangkat dan tersesarkan sejak Miosen tengah.

Gambar 3.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan juga ditemukan adanya Sekis hijau dan Sekis biru. Sekis hijau yang ditemukan ada yang tertutupi Kuarsa (Gambar 3). Sekis hijau yang tertutupi Kuarsa diperkirakan terjadi karena pada saat proses tektonik, sekis hijau tersebut pada pembentukannya bercampur dengan kuarsa. Adanya ditemukan Sekis tersebut merupakan penciri terjadinya metamorfisme pada pembentukan daerah tersebut. Akibat imbas gaya dari tumbukan lempeng, lempeng kontinen yang lebih kaku dan tebal menerima imbas gaya yang lebih besar, sehingga menciptakan zona – zona lemah pada marginnya. kompleks akresi, dimana akibat lanjutan Full Apart, menyebabkan terjadinya penipisan margin lempeng dan pada akhirnya menghasilkan spreading (Sukamto, 1985). Kondisi ini menyebabkan terjadinya injeksi magma astenosfer, dimana arus gaya yang dihasilkan oleh arus konveksinya mengakibatkan terjadinya rifting margin kontinen. Pada kala Miosen – Pliosen rifting tepian kontinen Eurasia telah berkembang lebih lanjut dan seiring dengan semakin besarnya tekanan akibat tumbukan lempeng, lempeng oceanic muda yang terbentuk akibat rifting tersebut mengalami uplift yang menghasilkan obduksi ofiolit pada daerah Barru dan Pangkep. Dan pada sisi lain mulai mengalami penunjaman ke arah bawah busur yang terbentuk pada Kala Miosen.


Pada cekungan intrusi magma semakin aktif dan membentuk intrusi-intrusi sill-dike dan stock serta plutovulkanisme yang ditandai dengan ditemukannya intrusi batuan Beku pada patahan Rijang (Gambar 4). Pada Kala ini terjadi kegiatan vulaknisme besar-besaran, dimana kegiatan vulaknisme camba berkembang dengan pesat sehinggan endapan material vulkaniknya menutupi hampir sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan dan pada lempeng kerak oceanik kembali terjadi kegiatan vulaknisme bawah laut yang diperkirakan terhenti pada kala Miosen.

Gambar 4.
Baturijang yang diamati di daerah Bantimala menunjukkan struktur lipatan yang miring yang membentuk antiklin dan siklin. Lipatan miring (Gambar 5) diperkirakan terjadi akibat adanya intrusi magma yang menunjam batuan. Di daerah tersebut juga ditemukan endapan Batubara (Gambar 6). Endapan Batubara ini diperkirakan terbawa oleh arus air karena bentuknya bulat. Adanya endapan Batubara mengindikasikan bahwa pada saat terjadi subduksi, tumbuhan – tumbuhan ikut menunjam kebawah lalu kemudian terangkat. Namun, Batubara yang ditemukan tidak terlalu bagus dan diperkirakan bahwa Batubara ini merupakan serpihan – serpihan Batubara dari Kalimantan.

Gambar 5.

Gambar 6.

Sumber :
Sukamto, Rab, 1985. “Tektonik Sulawesi Selatan dengan Acuan Khusus Ciri – Ciri Himpunan Batuan Daerah Bantimala”. Institut Teknologi Bandung. http:// digilib.itb.ac.id /files/disk1/35 /jbptitbpp-gdl-s2-1985- rabsukamto-1734-1985_ts_-1.pdf.


Geomorfologi Wakatobi

July 17, 2017 Add Comment
Terbentuknya kepulauan Wakatobi dimulai sejak jaman Tersier hingga akhir jaman Miosen.  Pembentukan pulau-pulau di kawasan ini akibat adanya proses geologi berupa sesar geser, sesar naik maupun sesar turun dan lipatan yang tidak dapat dipisahkan dari bekerjanya gaya tektonik yang berlangsung sejak jaman dulu hingga sekarang. Secara keseluruhan kepulauan ini terdiri dari 39 pulau, 3 gosong dan 5 atol. Terumbu karang di kepulauan ini terdiri dari karang tepi (fringing reef), gosong karang (patch reef) dan atol.  Empat pulau utama di Wakatobi, yaitu Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko.

Berbicara mengenai proses terbentuknya kepulauan tukang besi, kepulauan ini terbentuknya bersamaan dengan pulau buton. Keduannya merupakan dua buah mikrokontinen fragmen dari benua Australia-New Guinea. Pada pertengangahan Trias, masih merupakan bagian dari benua tersebut, Namun pada Trias Tengah-Akhir mulai masa transisi dari prerift menjadi rift.

Berdasarkan proses pembentukannya, atol yang berada di sekitar kepulauan Wakatobi berbeda dengan atol daerah lain. Atol yang berada di kepulauan ini terbentuk oleh adanya penenggelaman dari lempeng dasar. Terbentuknya atol dimulai dari adanya kemunculan beberapa pulau yang kemudian diikuti oleh pertumbuhan karang yang mengelilingi pulau.  Terumbu karang yang ada di sekeliling pulau terus tumbuh ke atas sehingga terbentuk atol seperti beberapa atol yang terlihat sekarang, antara lain Atol Kaledupa, Atol Kapota, dan Atol Tomia.


Pulau Wangi-wangi
Bagian selatan bertopografi datar hingga curam. Kedalaman perairan berkisar 5 – 1.884 m. Tipe pasang surut campuran semi diurnal terendah ± 500 m dari garis pantai, khususnya bagian selatan. Bagian barat, utara dan timur kondisi pantai relatif curam. Kecepatan arus perairan P. Wangi-Wangi 0,09 – 0,6 m/detik. Musim timur gelombang sangat kuat dipengaruhi angina Laut Banda, sedang musim barat tidak terlalu besar karena terhalang P. Buton.
Pulau Kaledupa
Bagian utara bertopografi datar. Kedalaman perairan 2 m – 1.404 m. Pantai curam di bagian selatan dan timur dengan kedalaman 35 m – 414 m. Perairan terdalam di antara Pulau dengan karang Kaledupa sekitar 1.404 m. Tipe pasang surut cenderung semi diurnal terendah sejauh ± 500 m dari garis pantai. Kecepatan arus perairan berkisar 0.7 m/detik – 0.20 m/detik. Musim barat gelombang tidak terlalu besar karena arah angin terhalang Pulau Wangi-Wangi dan Pulau Buton. Beberapa bagian utara hingga ke timur terlindung gelombang musim barat dan timur, karena karang penghalang Pulau Hoga, Pulau Lentea dan Pulau Darawa.

Pulau Tomia
Umumnya bertopografi datar hingga curam. Kedalaman perairan 0 m – 1.404 m. Topografi landai di bagian selatan Pulau Tomia, Pulau Tolandono, dan Pulau Lentea Selatan, kedalaman maksimum 280 m, sedang yang curam/bertubir di bagian utara kedalaman 500 m. Pasang surut semi diurnal terendah ± 500 m. Arus intertidal umumnya lemah, kecuali di perairan selat kuat. Pada musim barat gelombang tidak terlalu kuat karena terhalang Pulau Buton.

Pulau Binongko
Umumnya bertopografi curam, kedalaman perairan 181 m – 721 m. Bagian selatan mencapai 1.573 m. Kedalaman perairan pulau-pulau di Kecamatan Binongko berkisar 18 m – 500 m, dan ± 198 m – 500 m di P. Kontiole dan P. Cowo-Cowo. Perairan Pulau Moromaho ± 252 m – 500 m. Perairan Karang 5 Koko relatif dangkal. Tipe pasang surut semi diurnal. Kecepatan arus berkisar 0.10 – 0.19 m/detik. Sekitar perairan Binongko terdapat arus turbulen.
Sumber : Tulisan ini diambil dari berbagai sumber