Teori Postmodern dalam Administrasi

November 22, 2017 Add Comment

Teori administrasi publik postmodern adalah anti-tesis dari positivisme dan logika ilmu sosial objektif. Hal tersebut berbeda dengan Teori lainya yang dijelaskan dan dievaluasi dalam The Public Administration Theory Primer yang umumnya menerima tesis dasar dari positivis empiris ilmu sosial. Memang, teori postmodern menolak banyak asumsi epistemologis dasar ilmu sosial perilaku. Teori postmodern telah mempengaruhi teori kelembagaan dan teori manajemen publik, dan memiliki banyak pengikut dalam administrasi publik. Oleh karena itu teori ini perlu dikaji untuk memahami implementasi teori tersebut.
Teori postmodern adalah pendekatan subyektif untuk mempelajari fenomena sosial yang sangat berfokus pada bahasa, konteks interaksi manusia, dan pembangunan sosial dari realitas. Postmodernis percaya bahwa tidak ada kebenaran mutlak, karena itu pertanyaan yang diberikan akan memiliki beberapa kemungkinan jawaban, yang semuanya mungkin berlaku sama.
Farmer (1995) dan Fox dan Miller (1995) menerapkan lensa postmodern untuk mempelajari administrasi publik, yang muncul adalah tidak ada metode organisasi atau pemahaman proses administrasi yang "terbaik" atau "universal". Dengan perspektif ini, teori postmodern tidak terlalu mendukung penerapan administrasi publik tradisional, terutama terkait wewenang dan legitimasi organisasi birokrasi hirarkis dan ketergantungan mereka pada ahli teknokratis. Ini telah menciptakan peluang bagi berbagai arah ilmiah baru dalam administrasi publik, feminisme dan dorongan untuk bentuk administrasi yang lebih interaktif.

 Humanisme Organisasi dan Postpositivisme
Konsep, gagasan, dan argumen dalam teori postmodern memiliki asal usul yang menarik dalam administrasi publik modern. Meskipun masih sederhana, tapi dapat dikatakan bahwa apa yang sekarang dianggap sebagai teori postmodern administrasi publik memiliki asal-usul dari karya perintis Chester Barnard (1948) dan interpretasi hasil dari percobaan Hawthorne (Roethlisberger dan Dickson, 1939). Berbeda dengan penekanan pada struktur organisasi formal dan prinsip-prinsip manajemen dalam administrasi publik awal.
Barnard menjelaskan organisasi sebagai lingkungan sosial, dimana pekerja tertarik dalam mendukung dan mengakui karena mereka di gaji dengan kondisi kerja yang menguntungkan. Dalam pengaturan tersebut, fungsi organisasi lebih penting daripada struktur birokrasi formal daripada kepuasan pekerja dan produktivitas. Konsep Barnard kemudian disederhanakan dan dimasukkan ke dalam konteks filosofis oleh Douglas McGregor (1960) “Individu dalam organisasi”.
 McGregor berpendapat, secara alami orang cenderung untuk bekerja untuk mencari bertanggungjawaban, bekerjasama, menjadi produktif, dan untuk kebanggaan dalam mereka bekerja. Organisasi, bagaimanapun, terstruktur dan dikelola dengan asumsi bahwa karyawan tidak menyukai pekerjaan dan jika diberi kesempatan akan menjadi malas. Oleh karena itu, arahnya adalah pembatasan produksi. Maka pada pertengahan tahun 1960-an humanistik atau perspektif humanisme organisasi dalam administrasi publik muncul yang didasarkan pada karya Barnard dan McGregor.
Pada akhir tahu 1960-an, perkumpulan yang dinamakan Publik Administrasi Baru, yaitu sebuah group ilmuan yang resisten terhadap apa yang mereka percaya sebagai klaim yang berlebihan pada validitas keilmuan dalam administrasi publik dan mereka bertemu di Syracuse University’s Minnowbrook Conference Center di New York. Mereka konsen dengan apa yang salah dalam penggunaan data dan fakta dalam perang Vietnam dan mereka percaya bahwa perilaku dan tujuan dari publik administrasi adalah bukan untuk mengangkat isu publik seperti perang, kemiskiman, dan rasisme, melainkan lebih pada organisasi dan management institusi publik. Dari Minnowbrook Conference inilah muncul seperangkat konsep yang menjadi tantangan kaum ortodaks saat ini. Antara konsep dan asumsi yang muncul dari Konferensi Minnowbrook dan apa yang diinamakan Publik Administrasi Baru yang menjadi pemikiran inti dari postmodern dalam publik administrasi.

1.      Public administrator dan publik agensi tidak dapat menjadi netral dan obyektif
2.      Teknologi dapat menyebakan dehumanisasi
3.      Hirarki birokrasi sering tidak efektif dalam menjalankan strategi organisasi
4.      Birokrat lebih cendrung pada goal displacement dan bertahan
5.      Kerjasama, konsensus, dan administrasi demokratik lebih baik daripada sekedar kewenangan adminsitratif untuk keberhasilan organisasi yang efektif.
6.   Konsep modern dari administrasi publik harus dibangun atas logic post-behavior dan post-positivist – lebih demokratic, lebih dapat beradaptasi, leboih responsi terhadap perubahan lingkungan sosial, ekonomi, dan politik.

Beberapa tahun setelah konferensi Minnowbrook, beberapa partisipan yang berorientasi pada humanistik seringkali mengadakan pertemuan secara rutin melalui forum yang tidak terstruktur tapi fungsional melalui jejaring daripada melalui organisasi. Pertemuan ini sering disebut dengan Public Administration Theory Network (PATnet).  Perspektif ini secara gamblang mengkritik teori modernism dengan proposisi kunci dan dalam kerangka paradigmatik terdapat dalam karya Michael M. Harmon’s Action Theory for Public Administration.

1.      Dalam administrasi publik, sebagai cabang ilmu sosial dan sebagai kategori praktek sosial, paradigma harus dipahami sebagai teori nilai-nilai dan pengetahuan yang tujuannya untuk meningkatkan praktek administrasi dan mengintegrasikan teori.
2.      Keyakinan tentang sifat manusia adalah untuk pengembangan teori dalam administrasi publik serta semua cabang lain dari ilmu sosial. Dalam rangka memberikan landasan untuk mengembangkan dan mengintegrasikan epistemologi dengan teori deskriptif dan normatif. Keyakinan ini harus ontologis bukan didasarkan alasan kenyamanan.
3.      Unit utama analisis dalam teori sosial harus dalam bentuk tatap muka (pertemuan) antara dua orang yang lebih daripada individu dan unit analisis menyeluruh, seperti; kelompok, negara-bangsa, atau sistem.
4.      Orang-orang secara alami menjadi aktif bukan pasif, lebih sosial daripada atomistik. Ini berarti bahwa orang memiliki otonomi dalam menentukan tindakan mereka. Pada saat yang sama terikat dalam konteks sosial. Konteks sosial ini diperlukan tidak hanya untuk tujuan tetapi juga berperan untuk definisi rakyat sebagai manusia.
5.      Rakyat harus "aktif-sosial" yang menyiratkan sebuah epistemologi (aturan dasar untuk menentukan validitas pengetahuan) yang berfokus pada studi makna subyektif yang melekat pada tindakan mereka sendiri dan tindakan orang lain.
6.      Keterangan dan penjelasan dalam ilmu sosial harus berkaitan dengan tindakan, sebuah konsep yang mengarahkan perhatian pada makna atas tindakan mereka.
7.      Konsep tindakan memberikan dasar untuk menantang teori ilmu sosial yang berorientasi pda pengamatan dan analisis perilaku.
8.      Isu-isu konseptual dalam pengembangan teori nilai administrasi publik adalah hubungan substansi antara proses dan nilai-nilai kolektif.
9.      Menjadi nilai utama dalam pengembangan teori normatif untuk administrasi publik adalah mutualitas yang merupakan premis normatif dari hubungan tatap muka (pertemuan) antara diri dan aktif - sosial.
10.  Sama seperti teori deskriptif tentang kolektivitas yang lebih besar adalah turunan dari tatap muka, demikian juga sebaiknya teori normatif diturunkan dari mutualitas. Gagasan keadilan sosial adalah perpanjangan logis dari mutualitas diterapkan pada kolektivitas sosial dan karenanya harus dianggap sebagai premis normatif yang mendasari "agregat" kebijakan yang dibuat oleh dan dilaksanakan melalui organisasi public.

Sumber : Frederickson, H.George ; Smith, Kevin B.; Larimer, Christopher W, and Licari, Michael J.           2012. The Public Administration Theory Primer. Second Edition.